Selasa, 19 Jun 2012

SEKSA MENINGGALKAN SEMBAHYANG 5 WAKTU

Sembahyang itu tiang agama,barangsiapa mendirikannya maka sesungguhnya ia telah mendirikan agamanya,dan barangsiapa yang meninggalkannya maka sesungguhnya ia telah merobohkan agamanya...

6 SEKSAAN DI DUNIA
-Allah mengurangkan berkat umurnya
-Allah tidak m'permudahkan rezekinya di dunia
-Allah menghilangkan tanda atau cahaya soleh dari raut wajahnya
-Ia tidak akan mempunyai tempat di dalam islam
-Amal kebajikan yang dilakukannya tidak akan mendapat pahala
-Allah tidak menerima doanya

3 SEKSAAN KETIKA MENGHADAPI MATI
-org itu akan menghadapi mati dalam keadaan yang hina
-Mati dalam keadaan yang sangat lapar
-Mati dalam keadaan yang amat mendahagakan walaupun diberi minum dengan banyaknya

3 SEKSAAN KETIKA dalam KUBUR
-Allah akan menyempitkan kuburnya dengan sesempit-sempitnya
-Allah akan menggelapkan kuburnya
-Allah akan menyeksanya hingga hari kiamat

3 SEKSAAN KETIKA BERTEMU ALLAH
-Di hari kiamat ia akan dibelenggu oleh malaikat
-Allah tidak akan memandangnya dengan pandangan yang belas ihsan
-Allah tidak akan mengampunkan dosa-dosanya dan orang-orang yang meninggalkan sembahyang akan diazab di dalam neraka dengan azab yang keras.....

DOSA DAN BALASAN MENINGGALKAN SEMBAHYANG LIMA WAKTU

SUBUH:sekali meninggalkannya dimasukkan ke neraka selama 30 tahun di akhirat (60,000 tahun di dunia)

ZOHOR:sekali meninggalkannya dosanya sama seperti menbunuh 1000 umat islam

ASAR:sekali meninggalkannya dosanya sama seperti meruntuh baitullah (kaabah di Masjidil Haram Makkah)

MAGHRIB:sekali meninggalkannya dosanya sama seperti berzina dengan ibu sendiri

ISYA':sekali meninggalkannya Allah tidak redha org itu tinggal di bumi dan berbumbungkan langit dan makan dan minum dari nikmatNya...

Semoga dapat mengambil iktibar. kHabarkanlah tazkirah ini kepada sahabat-sahabat kita yang masih lalai

SYIRIK


Syirik yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Umumnya menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah, yaitu hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo'a kepada selain Allah disamping berdo'a kepada Allah, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo'a dan sebagainya kepada selainNya.

Karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah berarti ia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar"[ Luqman: 13]

Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik kepadaNya, jika ia meninggal dunia dalam kemusyrikannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar".[An-Nisaa': 48]

Surga-pun Diharamkan Atas Orang Musyrik.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan Surga kepadanya, dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun"[ Al-Maa'idah: 72]

Syirik Menghapuskan Pahala Segala Amal Kebaikan.
Allah Azza wa Jalla berfirman.

"Artinya : Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan"[Al-An'aam: 88]

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi"[Az-Zumar: 65]

Orang Musyrik Itu Halal Darah Dan Hartanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : ...Maka bunuhlah orang-orang musyirikin dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian..."[At-Taubah: 5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq melainkan Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukan hal tersebut, maka darah dan harta mereka aku lindungi kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka ada pada Allah Azza wa jalla"[2]

Syirik adalah dosa besar yang paling besar, kezhaliman yang paling zhalim dan kemungkaran yang paling mungkar.

JENIS-JENIS SYIRIK

Syirik Ada Dua Jenis : Syirik Besar dan Syirik Kecil.

[1]. Syirik Besar
Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dan belum bertaubat daripadanya.

Syirik besar adalah memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo'a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaitan, atau mengharap sesuatu selain Allah, yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat.

Syirik Besar Itu Ada Empat Macam.

[a]. Syirik Do'a, yaitu di samping dia berdo'a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, ia juga berdo'a kepada selainNya. [3]

[b]. Syirik Niat, Keinginan dan Tujuan, yaitu ia menunjukkan suatu ibadah untuk selain Allah Subhanahu wa Ta'ala [4]

[c]. Syirik Ketaatan, yaitu mentaati kepada selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah [5]

[d]. Syirik Mahabbah (Kecintaan), yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan. [6]

[2]. Syirik Kecil
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (perantara) kepada syirik besar.

Syirik Kecil Ada Dua Macam.

[a]. Syirik Zhahir (Nyata), yaitu syirik kecil yang dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan nama selain Allah.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik"[7]

Qutailah Radhiyallahuma menuturkan bahwa ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik. Kamu mengucapkan: "Atas kehendak Allah dan kehendakmu" dan mengucapkan: "Demi Ka'bah". Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para Shahabat apabila hendak bersumpah supaya mengucapkan, "Demi Allah Pemilik Ka'bah" dan mengucapkan: "Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu"[8]

Syirik dalam bentuk ucapan, yaitu perkataan.
"Kalau bukan karena kehendak Allah dan kehendak fulan"
Ucapan tersebut salah, dan yang benar adalah.
"Kalau bukan karena kehendak Allah, kemudian karena kehendak si fulan"

Kata (kemudian) menunjukkan tertib berurutan, yang berarti menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah.[9]

[b]. Syirik Khafi (Tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya' (ingin dipuji orang) dan sum'ah (ingin didengar orang) dan lainnya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

"Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil. "Mereka (para Shahabat) bertanya: "Apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?" .Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Yaitu riya'"[10]

Jadi dosa syirik ini mesti bertubat dan jka tidak bertaubat maka Allah swt tidak sekali2 akan memberikan keampunan kpeda pelakunya.
wallahua'lam 

ANAK TAK SAH TARAF MENGIKUT HUKUM SYARA’.


Rujukan :Dato’ Setia Hj. Mohd. Tamyes bin Abd. Wahid
Dato’ Seri Utama Diraja Mufti Negeri Selangor.


Pendahuluan.
        Fenomena anak tak sah taraf di Malaysia seakan-akan sudah menjadi masalah sosial yang lumrah dan tidak asing lagi kepada masyarakat kita. Ini kerana perkara ini sudah terlaku kerap berlaku. Kisah-kisah tentang pembuangan bayi terpampang di dada akhbar, sementara kes-kes ibu hamil tanpa nikah yang berada di pusat pemulihan semakin bertambah dari semasa ke semasa. Perkara ini disokong dengan statistik pendaftaran kelahiran anak luar nikah2 dari Jabatan Pendaftaran Negara bagi tahun 1999 hingga 2003 mencatatkan bilangan yang sangat besar, iaitu 70,430 orang. Negeri Selangor mencatatkan jumlah yang tertinggi, iaitu seramai 12,836 orang, diikuti Perak (9,788), Kuala Lumpur (9,439), Johor (8,920), Sabah (8,435), Negeri Sembilan (4,108), Pahang (3,677), Kedah (3,496), Pulau Pinang (3,412), Melaka (2,707), Kelantan (1,730), Perlis (691), Sarawak (617) dan Terengganu (574) orang.
             Statistik pendaftaran anak luar nikah mengikut bangsa pula didahului oleh Melayu/Bumiputera Sabah dan Sarawak sebanyak 20,949 orang, India sebanyak 19,581 orang, Cina sebanyak 18,111 orang dan kaum-kaum lain sebanyak 11,789 orang. Manakala statistik pendaftaran mengikut pecahan agama pula, orang Islam mencatat bilangan tertinggi yang mendaftarkan anak luar nikah seramai 30,978 orang, penganut Hindu seramai 18,085 orang,
1 Kertas kerja ini dibentangkan pada Seminar Penolong Pendaftar Nikah Daerah Hulu Selangor, 28 November 2007, di Petaling Jaya, Selangor.
2 Kanak-kanak yang dikategorikan sebagai anak tak sah taraf bagi maksud pendaftaran kelahiran adalah kanak-kanak yang dilahirkan oleh pasangan (ibu bapa) yang tidak berkahwin tetapi maklumat bapanya dimasukkan ke dalam Daftar dan Sijil Kelahiran Kanak-kanak; takrif oleh Jabatan Pendaftaran Negara.
penganut Buddha seramai 17,236 orang, penganut Kristian seramai 3,395 orang dan seramai 736 orang didaftarkan mengikut agama lain-lain.
Statistik atau fakta yang dipaparkan ini sebenarnya lebih tinggi dari yang sedia ada sekiranya mengambil kira kes-kes yang melibatkan pengguguran haram dan pembuangan bayi yang dipaparkan di media dan tidak direkodkan.
Persoalan yang sering ditimbulkan adalah bagaimana hendak mengatasi perbuatan seperti ini? Terdapat pandangan yang mengatakan supaya dilaksanakan hukuman hudud. Sebaliknya, ada pula yang menyarankan supaya diwujudkan tempat atau sebuah pusat penyerahan bagi bayi yang tidak dikehendaki. Jika dipilih cara yang pertama, maka banyak liku yang perlu diharungi, contohnya adakah mudah untuk memperolehi empat orang saksi seperti mana yang disyaratkan. Sedangkan bayi yang tidak berdosa terus dilahirkan di luar nikah, adakalanya ia dibuang malahan ada pula yang dibunuh.
Sekiranya kita memilih cara yang kedua, jika tersilap langkah atau pertimbangan ia boleh dan akan menjadi galakan kepada perbuatan zina kerana para penzina tidak perlu risau jika berlaku hamil luar nikah kerana sudah tersedia ruang dan tempat bagi menempatkan bayi yang tidak dikehendaki. 
Penyelesaian sesuatu masalah sosial yang berlaku tidak boleh diambil melalui jalan yang singkat dan semudah seperti yang disangka. Ia perlu dilihat dari keseluruhan aspek dengan melibatkan pendekatan agama serta pembangunan insan dan pembentukan masyarakat yang beretika dan baik.
Perzinaan dan Kehamilan Luar Nikah Menurut Undang-undang Di Malaysia.
Perzinaan menurut hukum syara’ secara umumnya adalah perhubungan seks antara lelaki dan perempuan yang dilakukan di luar ikatan perkahwinan yang sah atau persetubuhan syubhah sama ada dengan kerelaan atau paksaan. Dalam Kanun Keseksaan, tidak terdapat tafsiran mengenai perbuatan zina. Oleh itu, perzinaan dianggap bukanlah suatu jenayah kerana terdapat unsur
kerelaan.
2 Berbeza dengan perbuatan rogol yang dianggap sebagai satu kesalahan dan jenayah kerana terdapat unsur paksaan dan mangsa dalam perbuatan tersebut.
Definisi Anak Tak Sah Taraf.
Anak tak sah taraf dalam istilah bahasa Arab disebut walad al-zina3 yang bermaksud anak zina atau anak luar nikah. Berdasrkan perbincangan para fuqaha tentang nasab seseorang anak, secara umumnya dapatlah dirumuskan bahawa anak zina adalah merujuk kepada anak yang dilahirkan hasil perzinaan dan bukan dari perkahwinan yang sah atau pun persetubuhan syubhah.4
Menurut Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Selangor, istilah anak tak sah taraf adalah satu istilah yang digunakan bagi anak yang tidak mempunyai nasab atau hubungan darah yang sah dan sama, peruntukan undang-undang menyatakan:
‘tak sah taraf berhubungan dengan seseorang anak, ertinya dilahirkan di luar nikah dan bukan anak dari persetubuhan syubhah’.
Akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah-wilayah Persekutuan) 1984 juga mempunyai peruntukan yang sama. Terdapat juga peruntukan yang sama dalam Enakmen Undang-undang Keluarga di negeri-negeri lain di Malaysia, contohnya di Kelantan, Melaka, Perlis, Perak, Pulau Pinag, Johor, Kedah dan Sarawak.7 Ini bermakna, pengertian anak tak sah taraf dalam
3 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Library Du Liban, Beirut, 1980.
4 Al-Nasab wa Atharuhu, Muhammad Yusuf Musa, Edisi 2, Dar al-Ma’rifah, Kaherah 1967, m.s. 7-20. 
Persetubuhan syubhah adalah merujuk kepada persetubuhan oleh lelaki dan perempuan yang menyangka mereka adalah suami isteri yang sah. Lihat al-Mufassal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bayt al-Muslim fi al-Syariah al-Islamiyyah, Dr. Abd. Karim Zaydan, Vol. 9, Muassasah al-Risalah, t.tp, t.t, m.s. 341-344.
5 Enakmen Undang-undang Keluarga Islam (Negeri Selangor) No. 2, 2003, s.2.
6 Akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah-wilayah Persekutuan), 1984, s.2.
7 Lihat Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Kelantan, No. 2, 2002, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka, No. 12, 2002, Enakmen Pentadbiran Undang-undang Keluarga Islam Perlis, No. 4, 1992, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Perak, No. 13, 1984, Enakmen Undang-undang 
Keluarga Islam Pulau Pinang, No. 2, 1985, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Johor, No. 5, 1990, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Kedah, No. 1, 1979, Enakmen Undang-undang 3
peruntukan undang-undang negeri di Malaysia adalah selari dengan definisi anak tak sah taraf mengikut hukum syara’.
Menurut Fatwa Garis Panduan Anak Tak Sah Taraf Menurut Hukum Syara’ di Negeri Selangor yang telah diwartakan pada 28 April 2005, singhah berkaitan anak tak sah taraf menurut hukum syara’, adalah:
1. Anak yang dilahirkan tanpa nikah sama ada hasil daripada zina, rogol atau melalui cara saintifik yang bertentangan dengan hukum syara’.
2. Anak yang dilahirkan kurang daripada enam bulan dua lahzah qamariah dari waktu ‘imkad ad-dukhul’ dan bukan hasil daripada persetubuhan syubhah.
3. Anak yang dilahirkan lebih daripada enam bulan dua lahzah qamariah dari waktu ‘imkad ad-dukhul’ selepas akad yang sah dan ada bukti dari segi syara’ bahawa anak tersebut ialah anak tanpa nikah melalui iqrar (pengakuan) mereka yang berkenaan (suami dan isteri tersebut atau salah seorang daripadanya), atau empat orang saksi yang memenuhi syarat-syarat hukum syara’.8
Peruntukan Tentang Kesahtarafan Anak.
Terdapat juga peruntukan tentang kesahtarafan anak dalam Enakmen Undang-undang Keluarga Islam (Negeri Selangor) 2003 yang memperuntukkan tentang siapakah yang dikaitkan sebagai bapa, iaitu:
‘Jika seseorang perempuan yang berkahwin dengan seseorang lelaki melahirkan seorang anak lebih daripada enam bulan qamariah dari tarikh perkahwinannya itu atau dalam masa empat tahun qamariah selepas perkahwinannya itu dibubarkan sama ada oleh sebab perceraian, dan
Keluarga Islam (Negeri Selangor) , No. 2, 2003 dan Islamic Family Law Ordinance Sarawak, Chap. 43, 2001.
8 Warta Kerajan Negeri Selangor No. 9, Jil. 58, [Mufti Sel. 500-2; PU. Sel. AGM. 0007 Jld.2].

perempuan itu pula tidak berkahwin semula, maka lelaki itu hendaklah disifatkan sebagai bapa anak itu, tetapi lelaki itu boleh, dengan cara li’an atau kutukan, menafikan anak itu sebagai anaknya di hadapan mahkamah’.9
Peruntukan ini mengaitkan hubungan bapa dengan anaknya sekiranya anak tersebut lahir dari perkahwinannya dengan seorang wanita selepas enam bulan perkahwinan mengikut tahun hijri atau dalam masa empat tahun selepas perceraian. Anak yang lahir dalam jangka masa yang tersebut dikira sebagai sah tarafnya melainkan sibapa menafikan nasab anak tersebut di mahkamah.
Terdapat juga peruntukan lain yang menyatakan tentang anak yang disifatkan tak sah tarafnya, iaitu:
‘Jika anak itu dilahirkan lebih daripada empat tahun qamariah selepas perkahwinan itu dibubarkan sama ada oleh sebab kematian lelaki itu atau oleh sebab perceraian, lelaki itu tidak boleh disifatkan sebagai bapa anak itu melainkan jika lelaki itu atau mana-mana warisnya menegaskan bahawa anak itu adalah anak lelaki itu’.10
Peruntukan yang sama terdapat dalam kebanyakan Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri-negeri lain.11 Walaubagaimanapun di negeri Kedah dan Perlis, ia memperuntukkan peruntukan yang berbeza mengenai anak yang dilahirkan selepas perceraian, iaitu sekiranya seorang anak dilahirkan selepas perceraian, anak itu hanya sah tarafnya jika ia dilahirkan dalam masa satu tahun selepas perkahwinan dibubarkan.12
9 Enakmen Undang-undang Keluarga Islam (Negeri Selangor) 2003, s.111.
10 Enakmen Undang-undang Keluarga Islam (Negeri Selangor) 2003, s.112.
11 Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Kelantan 2002, s.111 & 112, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka 2002, s.111 & 112, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Perak 1984, s.106 & 107, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Pulau Pinang 1985, s.110 & 111, Akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah-wilayah Persekutuan) s.110 & 111 dan Islamic Family Law Ordinance Sarawak 2001, s.114 & 115.
12 Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Kedah 1979, s.99 & 100 dan Enakmen Pentadbiran Undang-undang Keluarga Islam Perlis 1992, s.109 & 110.

Sekiranya seorang anak lahir selepas tamat tempoh ‘iddah, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam (Negeri Selangor) 2003, memperuntukkan:
‘Jika seorang perempuan, yang tidak berkahwin semula, membuat satu pengakuan bahawa tempoh ‘iddahnya telah tamat, sama ada ‘iddah itu adalah oleh sebab kematian atau perceraian, dan perempuan itu kemudiannya melahirkan seorang anak, maka suami perempuan itu tidak boleh disifatkan sebagai bapa anak itu melainkan jika anak itu telah dilahirkan kurang daripada empat tahun qamariah dari tarikh perkahwinan itu dibubarkan oleh sebab kematian suaminya atau oleh sebab perceraian’.13
Kedudukan dan Hak Anak Tak Sah Taraf Menurut Hukum Syara’.
Pada umumnya, para fuqaha’ semua mazhab bersependapat bahawa seseorang anak yang pembenihannya dan kehamilannya itu berlaku sebelum pernikahan kedua ibu bapanya adalah anak hasil daripada perzinaan dan anak tersebut adalah anak tak sah taraf. Walaubagaimanapun, terdapat beberapa persoalan yang perlu dilihat secara lebih terperinci.
Menurut pendapat Mazhab Hanafi, jika seseorang lelaki berkahwin dengan seorang wanita, kemudian wanita tersebut melahirkan anak dalam tempoh kurang daripada enam bulan dari tarikh pernikahan mereka, anak tersebut tidak boleh dinasabkan kepada lelaki berkenaan kerana pembenihan telah berlaku sebelum nikah, maka ia bukan daripada suaminya. Sekiranya suami tersebut hendak menafikannya, ia hendaklah berli’an kerana nasab boleh disabitkan melalui perkahwinan yang wujud. Li’an hendaklah berdasarkan qazaf tanpa perlu wujudnya anak.14 Walaubagaimanapun, berdasarkan al-Fatawa al-Zahiriyyah, jika seseorang lelaki berzina dengan seorang perempuan yang kemudiannya berlaku pembenihan, apabila ternyata hamil dan lelaki tersebut mengahwininya, maka pernikahan tersebut harus. Jika anak dalam kandungan tersebut lahir dalam tempoh selepas enam bulan atau
13 Enakmen Undang-undang Keluarga Islam (Negeri Selangor) 2003, s.113.
14 Mu’in al-Hukkam, Ala’ al-Din Abi al-Hasan Ali bin Khalil al-Trablusiy, cetakan ke -2, Mesir, Sharikah Maktabah wa Matba’ah Mustafa al-Babiy al-Halabiy wa Awladihi, 1973, m.s. 332.

lebih, maka anak tersebut dinasabkan kepada lelaki tersebut. Sebaliknya, jika dilahirkan kurang daripada enam bulan, maka tidak dinasabkan anak tersebut kepadanya kecuali jika ia mengaku bahawa anak itu adalah anaknya dan bukan dari hasil perzinaan.15
Menurut pendapat Mazhab Syafie,16 jika dikahwini seorang wanita yang hamil dari perzinaan, kemudian ia melahirkan anak yang sempurna tempohnya (term baby), maka terdapat empat keadaan mengenainya. Pertama, sama ada suami menafikan anak tersebut zahir dan batin tanpa melakukan li’an iaitu anak yang dilahirkan kurang daripada tempoh enam bulan daripada berlaku perhubungan suami isteri selepas akad nikah atau lebih daripada empat tahun dari tarikh terakhir berlaku perhubungan suami isteri.
Kedua, sama ada dihubungkan anak dengan suami tersebut dan sabit bagi anak tersebut hukum perwarisan dan selainnya secara zahir, yang sepatutnya menafikannya kerana anak tersebut lahir lebih daripada masa enam bulan dan kurang daripada empat tahun. Suami tersebut mengetahui atau berat sangka bahawa anak itu bukan daripada benihnya kerana ia tidak menyetubuhi isterinya selepas akad dan tidak memasukkan spermanya. Atau anak tersebut dilahirkan kurang daripada enam bulan dari tempoh perhubungan suami isteri, atau lebih daripada empat tahun daripada perhubungan tersebut, atau lebih daripada enam bulan daripada istibra’ dengan sekali pusingan haid dan ternyata isteri tersebut berzina. Maka dalam keadaan sedemikian, suami tersebut berdosa jika tidak menafikan anak tersebut, malah ia suatu dosa besar.
Ketiga, sama ada menghubungkan anak tersebut kepada suami secara zahir tetapi tidak perlu menafikannya jika suami sangka bahawa anak tersebut adalah daripada benihnya walaupun tanpa sangkaan yang berat. Telah berlaku istibra’ selepas perhubungan suami isteri dan anak tersebut dilahirkan
15 Mu’in al-Hukkam, Ala’ al-Din Abi al-Hasan Ali bin Khalil al-Trablusiy, cetakan ke -2, Mesir, Sharikah Maktabah wa Matba’ah Mustafa al-Babiy al-Halabiy wa Awladihi, 1973, m.s. 333.
16 Bughyah al-Mushtarshidin, al-Sayyid Abd. Rahman bin Muhammad bin Husayn bin Umar, Dar al-Fikr, Beirut, m.sm 386.

lebih daripada enam bulan selepas perhubungan suami isteri. Terdapat keraguan mengenai perzinaan isterinya. Dalam keadaan sedemikian, sunat (nadb).
Keempat, sama ada dihubungkan anak tersebut kepada suami dan haram menafikannya jika berat sangkaan anak tersebut adalah dari benihnya. Atau pun terdapat dua perkara yang sama iaitu anak tersebut lahir setelah enam bulan dan lebih sehingga empat tahun daripada berlakunya perhubungan suami isteri serta tidak berlaku istibra’ selepas itu. Atau berlaku istibra’ tetapi anak tersebut dilahirkan kurang daripada enam bulan, maka dihubungkan melalui firash (perkahwinan yang sah).
Terdapat perbezaan pendapat mengenai anak zina yang dilahirkan tanpa firash, maksudnya ibu kepada anak tersebut tidak berada dalam ikatan perkahwinan. Jumhur ulama’ berpendapat bahawa tidak harus disambungkan nasab anak zina dengan bapa biologinya. Manakala terdapat segelintir ulama’ yang mengharuskannya seperti Muhammad bin Sirrin dan Ibn Taimiyyah serta diperkukuhkan oleh anak muridnya, Ibn Qayyim. Hassan al-Basry dan Ibrahim al-Nakha’iy berpendapat bahawa harus menghubungkan anak zina dengan bapa zinanya setelah dikenakan hukuman hudud.
Sabitan Kebapaan.
Sabitan kebapaan atau thubut al-ubuwwah merupakan sebahagian daripada sabitan nasab. Sebenarnya, sabitan kepada ibu lebih mudah dibuktikan iaitu mengikut mazhab Hanafi, memadai dengan penyaksian seorang wanita ketika kelahiran. Cara sabitan kebapaan menurut pandangan Mazhab Hanafi adalah melalui perkahwinan yang sah, kesaksian dan iqrar.17 Menurut Mazhab Syafie, sabitan nasab boleh ditentukan melalui tiga cara, iaitu melalui kesaksian, iqrar dan istifadah.18 Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaili,
17 Mu’in al-Hukkam, Ala’ al-Din Abi al-Hasan Ali bin Khalil al-Trablusiy, cetakan ke -2, Mesir, Sharikah Maktabah wa Matba’ah Mustafa al-Babiy al-Halabiy wa Awladihi, 1973, m.s. 332.
18 Al-Fiqh al-Manhaji, Mustafa al-Khin, Mustafa al-Bugha dan Ali al-Sharbaji, juzu’ 4, cetakan 1, Damsyik, Matba’ah al-Sabah, 1987, m.s. 215-217. Kitab al-Adab al-Qadi, Ibn Abi al-Damm al Hamawiy, cetakan 2, Damsyik, Dar-al-Fikr, 1982, m.s. 369-371.

maksudnya ialah tersebarnya perkhabaran tentang perkahwinan, penyusuan, kelahiran atau kematian yang disepakati kebenarannya oleh segolongan ramai sehingga ke tahap yakin yang dikenali sebagai syahadah al-sima. Menurut pandangan beliau, syahadah al-sima lebih kuat dari istifadah.19
Sabitan kebapaan seorang anak yang sah taraf lebih mudah disabitkan. Tetapi untuk mensabitkan bapa biologi seseorang anak tak sah taraf perlu terlebih dahulu dipastikan dalam empat perkara. Pertama, ada peruntukan undang-undang yang mewajibkan. Kedua, ada peruntukan undang-undang yang membenarkan. Ketiga, apakah cara yang boleh diterimapakai. Keempat, apakah sabitan hubungan anak dan bapa akan menggugurkan hukuman zina?
Tiada sebarang peruntukan dalam Undang-undang Keluarga Islam yang mewajibkan kepastian bapa biologi bagi seseorang anak yang tak sah taraf. Malahan dalam Undang-undang Kesalahan Jenayah Syariah juga tidak menetapkan kewajipan memastikan bapa biologi bagi seseorang anak yang dilahirkan luar nikah.
Hubungan biologi antara seorang anak tak sah taraf dengan bapanya tidak pernah diiktiraf bagi menentukan sesuatu hak kecuali pandangan mazhab Hanafi yang melarang perkahwinan antara anak dan bapa biologinya. Oleh itu, hubungan sedemikian tidak dianggap atau diiktiraf sebagai hubungan melalui nikah. Maka tidak ada tempat dalam undang-undang keluarga Islam yang memberi ruang kepada hubungan tersebut. Menempatkan hubungan sedemikian dalam undang-undang keluarga Islam boleh menimbulkan kekeliruan kepada masyarakat kerana mereka akan beranggapan bahawa hubungan sedemikian diiktiraf oleh syara’.
Pada zaman Rasulullah s.a.w., sabitan nasab pernah dilakukan berdasarkan pendapat qa’if iaitu seorang yang mempunyai kemahiran dalam melihat persamaan urat tapak kaki. Ibn Qayyim berpendapat bahawa qiyafah lebih
19 Fiqh Islami wa Adillatuh, Dr. Wahbah al-Zuhaili, juzu’ 7, cetakan 3, Damsyik, Dar al-Fikr, 1989, m.s. 696.
9
berupa persamaan antara anak dan bapanya yang zahir pada rupa paras, bentuk serta tubuh badan yang diketahui secara khusus oleh qa’if.20 Malahan amalan tersebut diikuti oleh Sayyidina Umar al-Khattab, Abu Musa al-Asy’ari, Ali bin Abi Talib, Ibn Abbas dan Anas bin Malik. Amalan tersebut tidak disanggah oleh para Sahabat. Dalam kalangan imam mazhab yang empat, hanya Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya sahaja yang menolak beramal dengan qiyafah.21 Terdapat dalam kalangan qadhi-qadhi terkenal yang juga ahli qiyafah seperti Iyas bin Muawiyah dan Shurayh bin al-Harith.22
Zaman terus berkembang, dengan kemajuan sains dan teknologi, kini terdapat satu kaedah yang boleh digunakan untuk mensabitkan hubungan biologi seorang anak dengan bapanya. Ujian paterniti atau molekul biologi boleh digunakan sebagai satu cara untuk memastikan bapa kepada seorang anak. Ia dikenali sebagai ujian DNA (Deoxyribonueleic acid). Ujian ini dilakukan untuk mengenalpasti dan membuktikan siapakah bapa biologikal sebenar kepada anak yang dilahirkan. Dari sudut perundangan, ibu, bapa dan anak yang disabitkan perlu menjalani ujian tersebut dengan keizinan bertulis. Sekiranya kanak-kanak itu berumur di bawah 16 tahun, penjaga perlu memberi keizinan bagi mewakili kanak-kanak tersebut. Setiap individu mempunyai 46 kromosom iaitu 23 adalah daripada bapa dan 23 daripada ibu. Kaedah seperti ini memerlukan sel-sel badan daripada anak dan bapa. Sampel akan diambil daripada bendalir mulut. Ketepatan kaedah ujian DNA adalah mencapai 99.999% atau 99,999/100,000. Ini bermakna kemungkinan pertembungan kongruiti (ketidaktepatan) antara anak dan bapa hanya di bawah paras 0.01%.23
20 Al-Turuq al-Hukmiyyah, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Beirut, Dar al-Fikr al-Lubnaniy, 1991, m.s. 204.
21 Al-Turuq al-Hukmiyyah, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Beirut, Dar al-Fikr al-Lubnaniy, 1991, m.s. 193-196.
22 Al-Turuq al-Hukmiyyah, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Beirut, Dar al-Fikr al-Lubnaniy, 1991, m.s. 204.
23 Rujukan - Dr. Zaidun Kamari, Pengarah Hospital Universiti Sains Malaysia, Kubang Kerian, Kelantan. Juga sebagai Ahli Jawatankuasa Fatwa Negeri Selangor.
10
Keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam.
Selain daripada peruntukan undang-undang dan enakmen negeri-negeri, terdapat juga Keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam yang menyatakan tentang status anak yang dikandung ibunya di luar pernikahan yang sah, iaitu:
‘Perempuan yang mengandung anak luar nikah harus dinikahkan tetapi anaknya tidak boleh dinasabkan kepada lelaki itu, tidak dapat pusaka daripadanya, tidak menjadi mahram kepadanya dan lelaki itu tidak boleh menjadi walinya’.
‘Anak zina atau anak luar nikah (anak tak sah taraf) sama ada diikuti dengan perkahwinan kedua pasangan ibu bapanya atau tidak, hendaklah dibin atau dibintikan kepada Abdullah’.
Dari segi tanggungjawab untuk memberi nafkah, Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam memberi pandangan:
‘Segala nafkah dan saraan hidup anak tak sah taraf adalah menjadi tanggungjawab ke atas ibunya. Ini adalah kerana anak tak sah taraf dinasabkan kepada ibunya dan tidak kepada lelaki yang menyetubuhi ibunya’.
Garis Panduan Penamaan, Pergaulan dan Hak-Hak Anak Tak Sah Taraf.
Perkara yang akan dibincangkan dalam kertas ini seterusnya adalah bertujuan untuk dijadikan sebagai asas rujukan dalam menentukan kesesuaian penamaan anak tak sah taraf menurut syariat Islam. Selain daripada itu, ia juga bertujuan memberi kefahaman dan penjelasan kepada semua pihak berkenaan aspek-aspek pergaulan serta implikasi sosial anak tak sah taraf dalam keluarga dan masyarakat.
11
Dari sudut penamaan anak tak sah taraf, jika seseorang perempuan Melayu beragama Islam bersekedudukan tanpa nikah dengan pasangannya sama ada lelaki tersebut Islam atau bukan Islam dan melahirkan anak, maka anak tersebut hendaklah dibin atau dibintikan dengan Abdullah atau lain-lain nama asma’ al-husna berpangkalkan Abdul. Seseorang anak tak sah taraf atau anak luar nikah tidak wajar dibin atau dibintikan kepada ibu anak tersebut kerana ia mungkin akan menimbulkan masalah sosial dan kesan psikologi kepada anak tersebut.
Seseorang anak yang dijumpai terbiar atau anak pungut yang tidak diketahui asal-usulnya hendaklah dibin atau dibintikan kepada Abdullah, sekiranya nama Abdullah itu bersamaan dengan nama orang yang memelihara anak tersebut, maka bolehlah dipilih nama ‘Asma’ al-Husna’ yang berpangkalkan Abdul seperti Abdul Rahman dan Abdul Rahim.
Dalam konteks pergaulan pula, anak tak sah taraf tidak boleh dihalang daripada menjalinkan apa-apa hubungan atau menjalankan aktiviti yang boleh dijalinkan atau dijalankan dengan seseorang kanak-kanak Islam lain yang sah tarafnya. Pergaulan anak tak sah taraf dengan lelaki yang telah melakukan persetubuhan tanpa akad nikah dengan ibunya, walaupun lelaki tersebut adalah bapanya yang sebenar, hendaklah berasaskan pergaulan di antara anak tiri dan bapa tiri. Jika anak tak sah taraf itu ialah seorang perempuan, maka wudhu’nya dan wudhu’ suami ibunya, samada si suami itu adalah bapanya yang tidak sah atau pun lelaki lain, maka tidak terbatal wudhu’nya kerana menurut pandangan hukum syara’ suami ibunya itu adalah sebagai bapa tirinya.
Perhubungan antara nak tak sah taraf dengan anak-anak sebelah ibunya yang sah taraf dan ahli keluarga sebelah ibunya yang lain adalah hubungan kekeluargaan yang sah, tetapi perhubungan ini tidak boleh diperluaskan kepada keluarga sebelah bapanya yang tidak sah itu.
12
I
mplikasi Anak Tak Sah Taraf Dari Segi Hukum Syara’.
Dari sudut hubungan nasab (keturunan), anak tak sah taraf tidak harus dibin atau dibintikan kepada lelaki yang menyetubuhi ibunya. Dia hendaklah dibin atau dibintikan dengan Abdullah atau salah satu nama asma’ al-husna atau sifat Allah seperti yang telah dinyatakan.
Segala nafkah dan saraan hidup anak tak sah taraf adalah menjadi tanggungjawab ke atas ibunya. Ini adalah kerana anak tak sah taraf itu dinasabkan kepada ibunya, tidak kepada lelaki yang menyetubuhi ibunya.
Anak tak sah taraf tidak terputus hubungan keturunan dengan ibunya. Oleh itu, kedua-duanya boleh mewarisi pusaka di antara satu sama lain. Sekiranya ibunya meninggal dunia, maka ia mempunyai hak untuk mewarisi pusaka ibunya bersama-sama ahli waris yang lain. Begitu juga sekiranya anak tak sah taraf itu meninggal dunia terlebih dahulu, maka ibunya berhak untuk mewarisi pusakanya. Seseorang anak tak sah taraf adalah terputus hubungan dari segi pusaka dengan bapanya yang tak sah taraf dan ia tidak menjadi ahli waris dan tidak berhak untuk mewarisi pusaka bapanya, begitu juga sebaliknya bapanya tidak berhak untuk mewarisi pusakanya.
Hak perwalian diri anak tak sah taraf sebenarnya terletak kepada ibunya. Walau bagaimanapun, perwalian perkahwinan seseorang anak tak sah taraf perempuan dipegang oleh wali hakim. Ini kerana seseorang perempuan tidak sah menjadi wali di dalam apa jua perkahwinan. Lelaki yang menyetubuhi ibunya sebelum akad nikah yang sah, samada ia (lelaki) berkahwin atau tidak dengan ibunya selepas itu, tidak sah menjadi walinya.
Bagi perkahwinan pula, seseorang anak tak sah taraf perempuan boleh berkahwin dengan seseorang lelaki yang sah. Berhubung dengan penjagaan anak tak sah taraf, ia adalah dipertanggungjawabkan semata-mata kepada ibu dan saudara-mara sebelah ibunya.
13
Kematian seseorang anak tak sah taraf yang belum baligh adalah menurut hukum agama ibunya. Jika ibunya beragama Islam, maka ia dihukum sebagai seorang yang beragama Islam. Dengan demikian, mayatnya hendaklah diurus secara pengurusan jenazah Islam. Sekiranya ibunya bukan seorang yang beragama Islam, maka ia dihukum sebagai seorang yang bukan beragama Islam, sekalipun lelaki yang menyetubuhi ibunya itu seorang yang beragama Islam.
Jika semasa hayatnya, anak tak sah taraf telah melakukan amal kebajikan sama ada untuk diri sendiri ataupun untuk masyarakat, maka segala manfaatnya dari segi ganjaran Allah s.w.t. dan lain-lain akan kembali kepada dirinya jua. Jika seseorang anak yang dipungut dan tidak dapat ditentukan keturunannya iaitu sama ada Islam ataupun bukan Islam, maka adalah menjadi tanggungjawab pihak pentadbir (kerajaan) membesarkannya, menjaga kebajikannya serta mendidiknya menurut agama Islam kerana bersandarkan kepada majoriti rakyat sesebuah negara itu yang beragama Islam.
Penutup.
Permasalahan berkaitan anak tak sah taraf adalah akibat perubahan sikap terhadap perkahwinan. Perkembangan ini jika dibiarkan akan menggugat kesucian ikatan perkahwinan dan meletakkan institusi keluarga dalam keadaan yang tidak dikawal oleh peraturan dan nilai-nilai akhlak. Perkembangan ini sebenarnya merupakan masalah yang sangat serius. Pengetahuan mengenai Islam hendaklah disebarkan dengan seluas-luasnya dan gerakan dakwah hendaklah diperhebatkan.
Masyarakat Islam hendaklah menyedari bahawa institusi keluarga dan syariat perkahwinan wajib dipertahankan kerana punca terbesar keruntuhan sesuatu masyarakat berpunca daripada kehancuran institusi keluarga dan sikap terhadap perkahwinan. Apabila keluarga telah runtuh tanggungjawab memelihara dan mengawal rakyat terserah kepada pemerintah. Sedangkan bagaimana cekap sekalipun sesebuah kerajaan, ia tidak berupaya menjalankan tugas-tugas kekeluargaan seperti memelihara, mendidik dan memberi kasih sayang kepada anak-anak. Tanpa didikan yang sempurna dan bimbingan yang wajar, anak-anak ini akan menjadi generasi yang pincang.

Nauzubillahhiminzalik

Hukum Melancap ?


Pertanyaan: 
Ada seseorang yang berkata: Apabila seorang lelaki melakukan onani, apakah hal itu boleh disebut zina dan apakah hukumnya?
Jawapan:
Ini yang disebut oleh sebahagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula “jildu ‘umairah” dan “istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah SWT ketika menyebutkan orang-orang Mukmin dan sifat-sifatnya berfirman,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ .فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hamba-hamba yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di sebalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mukminun: 5-7).
Al-’adiy ertinya orang yang zhalim yang melanggar peraturan-peraturan Allah.
Di dalam ayat di atas Allah memberitakan bahawa barangsiapa yang tidak bersetubuh dengan isterinya dan melakukan onani, maka bererti dia telah melampaui batas; dan tidak syak lagi bahawa onani itu melanggar batasan Allah.
Maka dari itu, para ulama mengambil kesimpulan daripada ayat di atas, bahawa kebiasaan tersembunyi (onani) itu haram hukumnya. Kebiasaan rahsia itu adalah mengeluarkan sperma dengan tangan di saat syahwat bergejolak. Perbuatan ini tidak boleh dia lakukan, ini kerana ia mengandungi banyak bahaya sebagaimana dijelaskan oleh para doktor kesihatan. Bahkan ada sebahagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasaan buruk tersebut. Kewajipan anda, wahai orang yang bertanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu kerana sangat banyak mengandungi bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan juga kerana bertentangan dengan makna yang jelas dari ayat al-Qur’an dan menyalahi apa yang dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya. Maka dia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi sesiapa sahaja yang dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khuatir terhadap dirinya (perbuatan yang tercela) hendaklah segera menikah, dan jika belum mampu hendaklah berpuasa, sebagaimana arahan
Rasulullah SAW,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera bernikah, kerana nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, kerana puasa itu dapat membentenginya.” (Muttafaq ‘Alaih).
Di dalam hadits ini baginda SAW tidak mengatakan: “Barangsiapa yang belum mampu, maka lakukanlah onani, atau hendaklah dia mengeluarkan spermanya”, akan tetapi baginda SAW mengatakan: “Dan barangsiapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, kerana puasa itu dapat membentenginya.”
Pada hadits tadi Rasulullah SAW menyebutkan dua hal, iaitu:
Pertama, Segera bernikah bagi yang mampu.
Kedua, Meredakan nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu bernikah, kerana puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syaitan.
Maka hendaklah anda, wahai pemuda, beretika dengan etika agama dan bersungguh-sungguh di dalam berupaya memelihara kehormatan diri anda dengan nikah syar’i sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam . Insya Allah, Dia akan memberimu kecukupan untuk melunasinya. Bernikah itu merupakan amal shalih dan orang yang bernikah pasti mendapat pertolongan, sebagaimana Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya,
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُمْ: الْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْعَفَافَ وَالْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
“Ada tiga orang yang pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah SWT: al-mukatab (hamba yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan dirinya, Lelaki yang bernikah kerana ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan mujahid (pejuang) di jalan Allah.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Rujukan:
Fatwa Syaikh Bin Baz, dimuat di dalam majalah al-Buhuts, edisi 26, hal. 129-130.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.
Kategori: Pernikahan
Sumberhttp://fatwa-ulama

Bercinta dengan bukan Islam


Soalan 1:

Apakah hukumnya bercinta dengan orang berlainan agama. Adakah haram atau sebaliknya?

Jawapan:

Islam tidak menafikan perasaan cinta kerana ia adalah satu perasaan yang fitrah dalam kehidupan manusia. Hidup seseorang manusia sentiasa diliputi dengan cinta dan kasih sayang.
Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Allah SWT: Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, iaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang, itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. (ali-'Imran: 14).
Namun, Islam sebagai al-Din memberi panduan lengkap bagi setiap lapangan hidup termasuklah dalam bab bercinta. Cinta itu harus diatur dengan sebaik-baiknya agar tidak salah dan tersasar daripada penerapannya yang sebenar.
Rasa cinta sebenarnya itu sewajarnya dipendam dalam hati, dan kelak baru diungkapkan setelah menjadi pasangan suami isteri yang sah menurut ajaran Islam.
Sebelum berlakunya akad nikah, Islam tidak membenarkan seorang wanita bercanda dengan lelaki yang bukan mahramnya untuk mengungkapkan perasaan cinta, baik secara langsung mahupun melalui komunikasi di telefon atau talian chatting.

Ini kerana pada hakikatnya ia bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan tarikan sepintas lalu sahaja. Sedangkan di luar dari ruang pernikahan, Islam tidak pernah membenarkan semua itu.
Firman Allah yang bermaksud: Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk. (al-Israk: 32).
Prinsip asas dalam adab bercinta dalam Islam ialah berpasakkan keredaan Allah, mematuhi segala suruhan-suruhan-Nya dan tidak boleh mengikuti kehendak makhluk-Nya sehingga mengingkari perintah atau larangan-Nya.


Pertama, seseorang yang benar-benar ingin mengamalkan Islam dalam dirinya perlu membetulkan niat apabila bercinta. Bercinta kerana Allah SWT dengan tujuan menghalalkan perhubungan itu daripada segenap sudut melalui perkahwinan yang sah.
Menjalin hubungan cinta antara lelaki dan perempuan yang bukan Islam tidak dibenarkan (haram) kerana lebih banyak mendatangkan kemudaratan daripada manfaat.
Seseorang muslim atau muslimah itu perlu berhati-hati dalam persoalan hati. Apatah lagi apabila jalinan perasaan tersebut melibatkan seorang yang berlainan agama. Sebabnya, seseorang Muslim hanya dibenarkan berkahwin dengan Muslim sahaja.

                                        Jika salah seorang daripada pasangan bukan Islam tidak memeluk Islam, hukumnya mereka mestilah berpisah dan tidak boleh mengikat tali perkahwinan. Ini kerana seorang hamba perempuan yang beriman itu adalah lebih baik daripada seorang wanita musyrik sekalipun kamu tertarik kepadanya. Dan sesungguhnya seorang hamba lelaki yang beriman itu adalah lebih baik daripada seorang lelaki musyrik sekalipun kamu tertarik kepadanya.
Larangan ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 221 yang bermaksud: Dan janganlah kamu mengahwini wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman (memeluk agama Islam). Dan sesungguhnya seorang hamba perempuan yang beriman itu adalah lebih baik daripada seorang wanita musyrik sekalipun kamu tertarik kepadanya. Dan janganlah kamu mengahwini lelaki musyrik sehingga dia beriman (memeluk agama Islam). Dan sesungguhnya seorang hamba lelaki yang beriman itu adalah lebih baik daripada seorang lelaki musyrik sekalipun kamu tertarik kepadanya. Sesungguhnya mereka itu menyeru kepada neraka. Manakala Allah menyeru kepada syurga dan keampunan dengan izin-Nya.


                        Selain ayat al-Quran di atas, terdapat hadis-hadis yang menyatakan bahawa baginda SAW telah memberi peringatan yang sangat keras dalam hadis baginda mengenai azab yang disediakan oleh Allah SWT kepada hambanya kerana menyentuh wanita yang bukan mahramnya (tanpa ikatan perkahwinan yang sah.)

Sabda Nabi SAW yang bermaksud: "Lebih baik ditembusi dengan jarum dari besi yang panas dari dubur sampai kepalanya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya". (riwayat Imam al-Tabrani dalam Mu'jam al-Kabir)


Soalan 2:

Bagaimanakah cara untuk tarik minatnya terhadap Islam dan bagaimana cara untuk dia memeluk Islam? Bagaimanakah cara untuk saya memberi keterangan mengenai Islam terhadap gadis tersebut dan keluarganya. supaya mereka juga memeluk Islam, insya-Allah?


Jawapan:

Dakwah ditujukan kepada seluruh manusia dalam keadaan umurnya yang berbeza-beza, serta tingkatan kedudukannya di kalangan masyarakat di samping kecerdasan dan alam lingkungannya, dan kemahuan serta jalan fikirannya.
Kesemuanya berlainan!
Hal ini menyebabkan para daie (pendakwah) harus menjadi orang-orang yang bijaksana. Mahir dalam menyampaikan pendapat dan pengertiannya kepada sasarannya iaitu manusia yang beraneka ragam itu. Para daie harus mengerti, dari mana pintu masuk ke tiap-tiap rumah, dan bagaimana caranya memasuki rumah itu!
Antara strategi yang perlu ada adalah berkenalan dengan seseorang sebelum menyampaikan dakwah kepadanya.
Adalah suatu kewajipan bagi seorang daie, supaya ia berkenalan lebih dahulu dengan seseorang yang akan menerima dakwahnya.

Ia harus memahami terlebih dahulu, bagaimana latar belakang kehidupan orang itu, bagaimana jalan fikirannya, dan bagaimana pengertian dan gambarannya terhadap alam raya ini.
Para pendakwah harus menyelidiki hal itu dengan mengadakan wawancara dan sebagainya, sehingga ia menemui apa kekurangan dan kesulitan yang sedang dialami orang yang diserunya itu.
Haruslah diambil perhatian bahawa pintu dakwah itu hanya satu saja, iaitu menyakinkan orang yang diseru tentang ajaran Islam. Bahawa dakwah harus dimulai dengan akidah, menetapkan adanya Allah SWT dan diakhiri dengan menetapkan agama Islam sebagai peraturan hidup dan bahawa memulai kehidupan menurut syariat Islam.

Untuk melaksanakan misi dakwah kepada orang bukan Islam, kebijaksanaan daie amatlah diperlukan bagi mencari pintu yang memungkinkan ia dapat memasuki jiwa mad'unya (orang yang didakwah), sehingga ia berhasil meyakinkan mad'unya tentang kebenaran ajaran Islam yang dikemukakannya itu dan dapat menarik mad'unya memeluk Islam.
Dalam masalah ini, seharusnya kita bersandarkan hukum-hukum syarak yang kita jadikannya sebagai panduan dalam tindakan kita.

Tuntunan Islam untuk melaksanakan usaha murni ini dapat dilihat dengan jelas di dalam al-Quran dan sunnah Nabi SAW dalam mengetengahkan dakwah di kalangan masyarakat Islam dan bukan Islam.
Sebagai contoh, al-Quran berulangkali menarik perhatian orang-orang musyrik untuk mendengarkan ayat-ayat al-Quran itu. Beberapa surah dimulai dengan huruf-huruf Hija'iyyah(alif, lam dan mim) dan sebagainya.

Huruf-huruf yang terputus-putus ini mempunyai pengaruh yang besar dalam menggugah perhatian kaum Musyrikin, mendorong mereka untuk diam, tenang dan mendengarkan lanjutannya baik-baik. Walaupun sebenarnya kaum Musyrikin itu sering menutup telinganya dengan hujung jarinya, jika mereka mendengar ayat-ayat suci itu dibacakan!
Metod yang diterapkan oleh Rasulullah SAW berdakwah, tidak lain ialah penafsiran secara amali tentang pengarahan Allah dalam firman-Nya:

l Ajaklah umat manusia ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan dengan nasihat yang baik...
(al-Nahl: 125)
Barang siapa yang diberi nikmat kebijaksanaan, maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak. (al-Baqarah: 269)

Kebijaksanaan Rasulullah SAW ialah berusaha menggerakkan jiwa orang yang diserunya secara tidak langsung.
Misalnya pernah ada seorang pemuda minta izin kepada beliau supaya dibolehkan berzina. Maka Nabi SAW bersoal-jawab dengan pemuda itu apakah ia suka, jika orang berzina dengan ibunya, dengan saudaranya yang perempuan, dengan anak perempuannya, sehingga akhirnya orang itu insaf.

Demikian juga, kebijaksanaan baginda dapat dilihat dalam cara baginda menarik perhatian orang kepada Islam. Seterusnya membimbing orang itu ke jalan yang benar, pada waktu seorang lelaki datang lalu mengatakan ia mahu masuk Islam, tetapi merasa berat untuk mengamalkan ajaran-ajarannya yang banyak.
Maka Rasulullah bersabda: Mahukah engkau berjanji dengan saya untuk meninggalkan berdusta?

                                 Orang itu mengira, tentu senang sekali, ia diperintahkan meninggalkan satu dosa saja, iaitu berdusta. Orang itu bersedia lantas memeluk Islam.
Tetapi kemudian setiap kali dia teringat mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak baik, dia selalu teringat akan janjinya. Dia merasa, bahawa esok atau lusa, seandainya bertemu dengan Rasulullah SAW maka dia mesti mengakui perbuatannya di hadapan Rasulullah dan tidak boleh berdusta. Dia merasa segan dan malu, tidak jadi mengerjakan pekerjaan yang tidak baik itu!
Akhirnya dia betul-betul menjadi orang yang baik.